INSPIRASI SULTRA.COM, LAWORO-Kabar baik untuk masyarakat Kabupaten Muna Barat (Mubar). Pasalnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Mubar bersama pemerintah daerah akhirnya tuntas membahas tiga buah rancangan peraturan daerah (Raperda), salah satunya adalah Raperda Perubahan Perda No.4 tahun 2023 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, di dalamnya mengatur besaran Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Dalam proses pembahasan raperda tersebut, Pemkab bersama DPRD sepakat menurunkan tarif PBB yang akan diberlakukan mulai tahun 2025. Sebelumnya, kenaikan tarif PBB sebagaimana diatur dalam Perda No.4 tahun 2023, besaran PBB naik berkali-kali lipat dari tahun sebelumnya, sehingga menuai protes dari masyarakat karena dianggap tarifnya ‘mencekik’.
Proses pembahasan Raperda Pajak dan Retribusi Daerah berlangsung di Gedung DPRD Mubar, Selasa (10/6) dipimpin oleh Ketua DPRD Mubar, La Ode Rafiudin, diikuti sejumlah anggota DPRD, Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), La Samahu dan para Kepala OPD penghasil Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pantauan media ini, proses pembahasa berlangsung cukup alot dalam durasi yang cukup panjang, membahas besaran nilai persentase tarif NJOP yang akan diformulasikan dalam perhitungan nilai akhir dari besaran PBB-P2 dan akan ditetapkan sebagai nilai akhir yang akan dibayar oleh masyarakat.
Kadispenda Mubar, La Samahu menyebutkan, berdasarkan Undang-Undang (UU) No.1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. Kemudian besaran tarif maksimal untuk PBB-P2 ditetapkan maksimal 0,5%.
“Tahun 2024 kita memungut PBB-P2 besarannya sesuai yang ditetapkan Perda No.4 tahun 2022, pengenaan tarif NJOP ditetapkan 50 persen dan tarif 0,5 persen. Dalam revisi Perda ini kami ajukan untuk menggunakan tarif 30 persen dan tarif landai 0,15 persen,”usulnya.
Anggota DPRD Mubar, La Ode Harlan menekankan kepada pemerintah daerah agar kenaikan tarif PBB tidak lebih dari 50 persen dari total nilai pembayaran PBB tahun sebelum terjadinya kenaikan tarif. “Masyarakat tidak mau tahu soal perhitungan persentase seperti ini, yang mereka tau adalah nilai akhirnya harus diturunkan,”kata Harlan.
Politisi PDIP ini meminta agar persentase tarif yang akan digunakan dalam proses perhitungan PBB ini menggunakan tarif minimal agar tidak membebani masyarakat. “Jangan seperti tahun lalu, kenaikannya sampai 300 persen dari tarif yang mereka bayar sebelumnya,”kata Harlan.
Hal senada juga diutarakan oleh anggota DPRD Mubar lainnya, Baitul Makmur. Politisi Demokrat ini sepakat dengan tawaran tarif 30 persen dan koefisien 0,15 persen. “Saya sepakat menggunakan tarif 30 persen dengan koefisien 0,15 persen, agar masyarakat tidak terbebani dengan PBB, karena PBB ini sifatnya wajib, tidak seperti retribusi,”ucap Baitul.
Legislator dua periode ini mengingatkan pemerintah daerah agar tidak menjadikan PBB-P2 sebagai obyek untuk mendongkrak PAD, tapi bisa melirik sektor lain yang potensial untuk menghasilkan dan meningkatkan PAD. “Pemerintah daerah harus hadir di tengah-tengah masyarakat, jangan karena ambisi kita untuk meningkatkan PAD kemudian PBB-P2 dinaikkan, jangan seperti itu. Kalau perlu gunakan tarif paling minimal 20 persen dan 0,1 persen,”pintanya.
Sementara itu Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapem Perda), La Ode Sariba menyarankan agar Pemkab Mubar hati-hati menetapkan besaran tarif PBB-P2, jangan sampai kenaikkannya berkali-kali lipat dari pembayaran PBB tahun sebelumnya yang pada akhirnya membebani masyarakat.
Sariba juga menekankan kepada Pemkab Mubar, dalam hal meningkatkan PAD melalui PBB-P2, jangan terfokus menaikkan tarif, tapi dapat memaksimalkan kinerja untuk ‘mengejar’ pajak tanah-tanah yang telah disertifikatkan oleh masyarakat namun belum tercatat PBB nya yang jumlahnya belasan ribu bidang tanah. “Tanah-tanah ini yang harus dikejar PBB nya,”sebutnya.
Politisi Nasdem ini juga menyarankan kepada Pemkab Mubar agar segera mengidentifikasi dan membuat klaster tanah-tanah milik masyarakat yang berada di jalan poros dan tanah-tanah yang ada di belakang, sehingga ada perbedaan besaran tarif PBB nya.
Setelah melalui persetujuan DPRD, tiga buah Raperda yang disetujui DPRD selanjutnya akan dikonsultasikan ke Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan dan akan ditindaklanjuti oleh Pemkab Mubar, sebelum diberlakukan sebagai Perda. Perda ini ditargetkan akan berlaku tahun 2025. (REDAKSI)
Comment